Rabu, 07 April 2010

Jim (Cahaya Hidayah didalam Hadiah Natal) (1)


Irama kehidupan di dunia Barat berjalan begitu cepat. Dalam hiruk pikuk kehidupan sedemikian itu, banyak kaum Muslim yang hidup di Barat masih bisa meluangkan waktu untuk berkiprah secara sukarela di lingkungan masjid dan Sekolah Islam. Contohnya, suatu hari para jama’ah Masjid Tauhid Detroit sepakat untuk bersilaturahim ke Masjid Tauhid Farmington Hills seusai shalat Subuh. Kami hendak menebang pohon-pohon yang tumbuh liar di halaman masjid menggunakan gergaji mesin kemudian memotong batang pohon itu menjadi potongan-potongan kecil. Potongan-potongan kecil itu kami satukan dalam ikatan-ikatan, selanjutnya kami letakkan di tepi jalan agar diangkut oleh dinas pelayanan kebersihan kota. Dengan begitu halaman masjid menjadi bersih.

Maka berangkatlah kami dalam dua mobil untuk keperluan ini setelah berjamaah shalat Subuh. Diantara kami terdapat seorang mualaf bernama Jim yang semobil dengan saya. Dalam perjalan saya tanyakan kepadanya, bagaimana ia masuk Islam. Secara rinci, ia ceritakan pengalaman hidupnya yang menarik itu. Beginilah ceritanya:


“Sebelumnya, sebagai penganut Kristen saya biasa ke gereja bersama kedua orangtua saya. Untuk memperoleh pelayanan gereja, orangtua saya harus menyisihkan sepuluh persen dari penghasilannya untuk disumbangkan ke gereja ini. Merasa tidak cocok dengan praktek keagamaan di gereja ini orangtua sayapun akhirnya berpindah ke gereja lain. Di gereja berikutnya ini, kami cukup menyisihkan delapan persen penghasilan perbulan untuk memperoleh pelayanan gereja. Hal ini dapat dimaklumi oleh orangtua saya, karena hampir semua gereja melakukan hal ini untuk penyelenggaraan gereja. Tetapi saya tetap saja tidak suka dengan praktek ‘membeli tempat duduk’ yang dikemas dalam bentuk sumbangan wajib seperti itu. Saya putuskan untuk tidak lagi ke gereja karena saya sungguh tidak setuju dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh gereja-gereja itu.”

“Lulus dari High School (SLA), saya pun melanjutkan ke perguruan tinggi. Disini, saya bertemu dengan banyak mahasiswa Muslim dari berbagai Negara. Saya sempatkan bertanya kepada mereka:”Adakah kalian wajib membayar tempat untuk beribadah?” Merekapun menjawab:”Tidak Sama sekali. Sebenarnya setiap orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan tempat ibadah untuk mengerjakan shalat.”
Perlu saya tambahkan disini, bahwa di lingkungan kampus perguruan tinggi di dunia Barat, para mahasiswa dihadapkan pada kebebasan memilih yang tanpa batas. Sebagian kecil diantara mereka memanfaatkan kebebasan itu secara keliru sehingga menghancurkan masa depan mereka. Namun, sebagian besar mahasiswa memanfaatkan dengan baik kebebasan ini, mereka berinteraksi secara konstruktif satu sama lain.


Interaksi inilah yang sebenarnya sangat menguntungkan. Mereka tidak pernah menjawab dengan singkat pertanyaan orang lain sehingga si penanya tetap dalam kebingungan. Tidak juga menjawab terlalu ‘njelimet’ sehingga si penanya tak berani lagi bertanya lebih lanjut. Lebih dari itu, mereka tidak memaksakan pandangannya terhadap orang lain sehingga tidak terjadi perseteruan diantara mereka. Bentuk interaksi yang menguntungkan semacam ini berlangsung sepanjang waktu diantara semua mahasiswa, maka sebenarnya, ini menjadi pedoman bagi sebagian dari para pendakwah keagamaan kami.

Jim berpandangan bahwa sebenarnya tidak adanya pungutan biaya tempat ibadah adalah praktek yang paling masuk akal. Karena itulah ia bertanya pada diri sendiri, mengapa tidak ditelaahnya saja detail-detail selebihnya dari agama ini? Kemudian ia lanjutkan berkisah kepada saya:
“Dulu, pacar saya tinggal se-apartemen sewaan dengan saya. Ia beragama Budha. Ia letakkan patung-patung budhanya di semua penjuru apartemen kami, walaupun ia sendiri tidak begitu rajin beribadah. Saya pun tidak menjalankan ibadah sebagai seorang Kristen. Dari pembicaraan saya sehari-hari ia dapat menangkap pencarian saya atas suatu pegangan hidup. Kamipun saling menerima apa adanya satu sama lain. Akhirnya, tibalah Natal.”


Natal adalah saat-saat dimana setiap orang mendambakan diberi hadiah oleh teman karibnya, tanpa memandang apapun keyakinan agamanya. Misalnya saja, orang-orang Yahudi yang sama sekali tidak mengimani Yesus, justru merekalah yang terlebih dahulu saling bertukar hadiah dan menghias tempat-tempat usaha mereka dengan pohon natal yang begitu besar untuk memikat pelanggan. Jim melanjutkan lagi kisahnya:
“Pacar saya juga tak ketinggalan bergegas ke tempat belanja, untuk membelikan saya hadiah Natal. Ditempat itu perhatiannya tertuju pada sebuah buku yang menurutnya nampak sangat filosofis. Iapun berkata pada diri sendiri, “Jim tentu akan suka dengan buku ini, karena ia selalu berkata-kata aneh bagaikan ungkapan novel.


”Maka sayapun mulai membaca buku ini begitu saya terima sebagai hadiah darinya. Ternyata buku ini adalah Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Saya pun suka membacanya setiap hari, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dalam pikiran saya. Para mahasiswa Muslim di kampus memberikan jawaban yang masuk akal atas berbagai pertanyaan saya. Ini membuat saya semakin tertarik kepada Islam, dan pada akhirnya saya puas dengan jalan hidup Muslim. Saya lantas menghubungi beberapa anggota Himpunan Mahasiswa Muslim di kampus Universitas dimana saya belajar. Mereka pun menjelaskan kepada saya ikrar yang harus diucapkan untuk masuk Islam. Maka dengan penuh kesiapan hati dan bersemangat, saya menyatakan memeluk Islam. Puji syukur kepada Tuhan – Alhamdulillah.”

“Saya telah sangat memahami bahwa Shalat adalah hal terpenting didalam Rukun Islam. Biasanya saya mengerjakan shalat di kampus dan di rumah. Karena itu saya minta kepada kekasih saya untuk memindahkan patung-patung miliknya dari ruang keluarga karena saya perlu ruangan itu untuk mengerjakan shalat. Ia tidak menyukai hal ini; memang tidaklah mudah berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengusik keyakinan seseorang; Namun akhirnya dengan perasaan enggan ia pun memindahkan patung-patung itu demi menyenangkan hatiku.”

“Begitu pendidikan dan keyakinan Islam saya semakin menguat, saya mulai menampakkan kekurangan perhatian terhadapnya, kamipun sempat beberapa kali bertengkar soal ini. Berkali-kali ia berkata, “aku telah selalu berusaha sebaik-baiknya untuk menyenangkanmu, karena kesetiaanku kepadamu tidak pernah berkurang sedikitpun. Lalu, apa yang membuatmu mengabaikanku sementara aku tetap dengan kesetiaanku padamu?” Saya berikan jawaban serius kepadanya,”Semua hal yang kamu katakan itu benar adanya, saya tidak mengingkari hal itu. Tapi kini sebagai seorang Muslim saya tidak mungkin lagi menjalin hubungan perkawinan dengan Non-Muslim” Ia mengenal sepenuhnya sifat dasar saya yang lembut dan tenang serta hubungan saya yang selalu baik dengan teman-teman karib saya. Maka iapun tidak pernah berharap untuk meninggalkan saya, walau sebesar apapun pengorbanan yang ia mesti berikan. Ia kemudian bertanya, “Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan demi mempertahankan hubungan kita ini?” Saya katakan, bahwa untuk itu ia harus memeluk Islam. Ia kembali bertanya,”Apa itu Islam?” Saya jelaskan kepadanya secara keseluruhan pokok-pokok ajaran Islam dalam waktu singkat. Ia kurang bisa mencerna sepenuhnya gagasan yang saya uraikan, namun akhirnya iapun setuju memeluk Islam untuk menenteramkan hati saya. Ia singkirkan sendiri patung-patung miliknya dari apartemen kami.” bersambung ke bag-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar